index

Aku dan Musik Blues

· 3min

Musik selalu jadi bagian penting dalam hidupku. Rasanya kayak teman lama yang selalu muncul di setiap momen, nemenin pas lagi senang, ngelus pundak pas lagi jatuh, atau sekadar ngisi sunyi waktu malam. Dari melodi dan lirik, aku sering nemuin hal-hal yang susah dijelasin: tentang cinta, kehilangan, dan hal-hal kecil yang bikin hidup terasa lebih manusiawi. Kadang aku juga nemuin cerita tentang sejarah atau mitologi di balik liriknya.

Dari kecil, rumahku nggak pernah sepi dari musik. Papaku sering muter lagu-lagu dari The Beatles, The Rolling Stones, Eric Clapton, dan lainnya. Dari situ aku mulai jatuh cinta dengan suara gitar, harmoni yang nyantol di kepala, dan distorsi yang entah kenapa terasa natural banget.

Tapi semua itu akhirnya mengarahkanku ke satu akar, Blues. Awalnya cuma rasa penasaran kecil, sampai akhirnya aku beneran ngerasa klik. Ada sesuatu di sana yang beda, kayak ada tangan yang pelan-pelan narik hati buat dengerin lebih dalam lagi.

Pertama Kali Dengerin Blues

Aku masih inget banget waktu itu. Lagi buka Spotify, tiba-tiba muncul rekomendasi lagu Albert King – Born Under A Bad Sign. Karena penasaran, aku langsung pencet play. Begitu bagian gitarnya mulai, aku langsung diem. Gitar itu kayak ngomong, pelan, jujur, tapi dalam. Nggak buru-buru, nggak pamer teknik, tapi penuh perasaan.

Habis itu aku mulai dengerin Robert Johnson, Muddy Waters, Howlin Wolf, dan nama-nama lain yang belum pernah kudengar. Dari mereka aku belajar satu hal, blues nggak berusaha nutupin luka, tapi malah peluk luka itu.

Musik Yang Kaya Metafora

Yang bikin aku makin suka, blues punya cara ngomong yang unik banget. Kayak lirik legendaris ini:

“Now you can squeeze my lemon ‘til the juice run down my leg.”
Robert Johnson

Pas pertama kali denger lirik itu, aku malah bengong. “Kenapa lemon?” pikirku. Rasanya aneh, bahkan sedikit absurd. Tapi karena penasaran, aku akhirnya nyari artinya, sampai nemu sebuah diskusi di Reddit yang ngebahas konteks lirik itu lebih dalam. Ternyata “squeeze my lemon” bukan soal buah sama sekali, tapi metafora khas blues buat hal-hal yang sifatnya lebih manusiawi.

Robert Johnson’s lyric “Squeeze my lemon” in context →

Blues itu nggak jaim. Dia ngomong apa adanya, tapi tetap puitis. Mungkin di situ letak daya tariknya, jujur, berani, tapi tetap terasa hangat. Itu yang bikin aku ngerasa dekat.

Tenang di Tengah Sedih

Yang aneh dari blues, semakin sedih lagunya, makin tenang juga rasanya. Mungkin karena blues nggak nyuruh kita buat move on atau pura-pura kuat. Dia cuma bilang, “Ya udah, rasain aja dulu.” Dan entah kenapa, itu cukup.

Setiap denger petikan slide guitar atau suara serak penyanyinya, aku ngerasa kayak lagi duduk di depan seseorang yang cuma bilang, “Aku juga pernah ngerasain itu.” Dan itu bikin lega.

Sampai sekarang, blues masih jadi tempat pulang buatku. Setiap kali hari terasa berat, aku bakal muter A Hard Road atau The Thrill Is Gone, lalu ngerasain semuanya pelan-pelan mereda. Ngerasa lebih tenang dan manusiawi.

Terkadang yang kita butuhin bukan solusi, tapi lagu yang ngerti rasanya. Dan selama masih ada musik kayak blues, aku tahu aku nggak sendiri.

“If you ain’t got the blues, you ain’t got life.”
John Lee Hooker